Herannya, semuanya merujuk pada satu opini bahwa merdeka adalah hak kita. Lalu, tembok-tembok ditulisi Merdeka atau Mati, Londo Disetriko, Inggris Dilinggis, Penjajah Edan, Merdeka!!!, dan aneka tulisan grafiti yang lain. Koar-koar semakin bersemangat disampaikan seorang pemuda itu. Rakyat keluar rumah semuanya sambil membawa senjata seadanya termasuk bambu runcing dan kayu. Koar-koar dari RRI terus mengumandang. Pendengar semakin kepanasan untuk menjumpai penjajah.
Karena banyak yang keluar di jalan-jalan, suasana tidak bisa terkendali. Apalagi ada ancaman bumi hangus dari Inggris melalui selebaran yang disebar lewat pesawat, rakyat malah tidak takut. Koar-koar terus dilakukan oleh seorang pemuda yang pandai memilih diksi, orasi, dan persuasi. Dua jenderal terbunuh tetapi tidak diketahui yang membunuh akibat banyaknya kerumunan itu. Seorang pemuda terus saja berkoar-koar dengan lantang.
Siapa seorang pemuda itu? Dia tidak lain dan tidak bukan adalah Bung Tomo si kumis tipis rambut gelombang, kurus, dan lincah berucap. Nama asilnya Sutomo seorang pramuka garuda.
Bung Tomo berasal dari Surabaya. Bung Tomo lahir pada 3 Oktober 1920 di Kampung Blauran, Surabaya. Kampung Blauran dekat dengan pusat penjajah waktu itu. Bung Tomo suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan agar menjadi lebih baik. Saat usia 12 tahun, ketika Bung Tomo terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO.
Ketika itu, Bung Tomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu. Bung Tomo juga menyelesaikan pendidikan HBS lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.
Di usia muda Bung Tomo aktif dalam organisasi kepanduan atau KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Bung Tomo menegaskan, filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya.
Di usia 17 tahun, Bung Tomo menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Tentu, koar-koar Bung Tomo tidak ngawur dan asal-asal. Koar-koarnya berdasar atas sikap dan prinsip dasar kepanduan yang peduli pada bangsa dan negara Indonesia.
Inisiatifnya dalam berjuang lewat kata-kata mendapatkan momennya. Isi koar-koarnya dikonsultasikan kepada sesepuh termasuk kepada Kyai Hasyim Asyari pendiri NU. Jawab Mbah Hasyim adalah teruskan dan tambahi kata jihad melalui ucapan Allah Akbar. Bung Tomo tambah bersemangat.
Anehnya, rakyat mengenal kehebatan isi koar-koar dan lantang suaranya tetapi tidak tahu orangnya. Lalu, para wartawan membuat setting podium buatan, Bung Tomo diminta berpakaian tentara pejuang dan dipotret. Semua yang melihat foto itu kaget. Ternyata dia masih muda ya. Ternyata ganteng juga. Ternyata kurus dan menyalak. Ternyata tegap. Ternyata rakyat bisa digerakkan seorang anak muda berusia 25 tahun, dan ternyata yang lain.
Keberanian Bung Tomo tentu didasari oleh disiplin, berani, dan setia. Kerelaannya berjuang didasari oleh siap, setia, sedia. Itulah kaliber pramuka garuda. Ada tantangan yang bisa dihadapi. Ada hambatan yang bisa diterobos. Ada penderitaan bangsa bisa diubah menjadi merdeka. Pramuka garuda adalah puncak harga diri dari peserta didik. Pramuka garuda adalah hak peserta didik. Berikan haknya. Garudakan mereka dengan sebaiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar